“Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu
kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di
antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati
terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman”
(QS. Al-Hijr: 88)
Kesedihan adalah peluang yang sangat luas bagi
kecemasan untuk datang menghampiri. Bahkan bisa dikatakan bahwa kesedihan
merupakan awal dari kecemasan itu sendiri. Karena kesedihan akan menuntun kita
kepada sikap untuk tidak mau melakukan kegiatan yang baru serta selalu pesimis
dengan kehidupan yang sedang atau akan dijalani. Oleh sebab itu dalam Al-Qur`an
Allah memerintahkan kepada setiap hambanya agar tidak bersedih;
”Janganlah kamu bersikap lemah dan jangan (pula) bersedih
hati, kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu
orang-orang yang beriman” (QS. Ali-`Imran [3]:139).
Jadi kesedihan itu sendiri adalah suatu sikap yang
dapat membuat hidup menjadi keruh. Menjadikan hidup kita tidak jernih dan bermakna.
Ia akan menyebabkan kita lemah semangat, tak bergairah dalam menjalani
kehidupan. Sehingga jika terus berkelanjutan maka sikap sedih ini akan
menghantarkan kita pada fase sikap untuk acuh kepada kebaikan, tidak peduli
kepada kebajikan, tidak mau menjegah kepada yang mungkar bahkan turut
memupuknya, tidak peduli atau tidak memiliki semangat untuk mencapai
kebahagiaan serta terus larut di dalam kebinasaan. Ini merupakan suatu
perbuatan yang sangat merugikan dan berdampak tidak baik, baik bagi diri sendiri,
bahkan bagi orang lain dan lingkungan sekitar.
Jika selama ini kita menderita dan selalu dilanda oleh
bermacam cobaan yang tak kunjung reda sehingga menghantarkan kita kepada jurang
kesedihan, maka ingatkan selalu diri kita bahwa jika kita terus ikhlas dan
berusaha sabar dalam menghadapinya maka kenikmatan surga yang abadi akan setia
menanti. Dan apabila kita telah benar-benar menyakini dan menjalankannya
sepanjang kehidupan di dunia ini maka dengan demikian kita telah mengubah
setiap kesedihan menjadi kebahagiaan, kefakiran menjadi keuntungan, dan bencana
menjadi kenikmatan. Karena orang yang beruntung salah satunya adalah menyakini
bahwa semua yang telah diujikan oleh Allah akan ada ujungnya dan pasti tidak
akan melebihi batas kemampuannya, seperti yang termaktub di dalam Al-Qur`an
surat Al-Mu`minuun [23] ayat 62:
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgX-trDTsT7n3PsF6DbuRdtAGsOzdrbM0akNu_QZBl2GIpV-h84qE7W4uDIfx9pDiBYMGhUJsn2cNGKZ_BxPFKDviYH0g5HyGcRT0_tbUu2gmOsIQFqgek_2Tyl0pgqGA9dU0wb_MSDBUU/s320/94535.gif)
Jadi kesedihan hanya akan memadamkan api semangat dan
gairah. Meredakan tekad serta akan membekukan akal pikiran dan hati kita.
Kesedihan itu seperti layaknya penyakit yang menggerogoti seluruh tubuh dan
membuatnya lemas serta tidak berdaya. Karena kesedihan itu hanya akan membawa energi
negatif, ia akan membawa daya yang menghentikan semangat dan bukan
membangkitkan semangat. Dan tentunya hal yang sedemikian bukanlah suatu yang
berfaedah bagi diri terutama bagi hati.
Letakkan hati kita sesuai pada tempatnya, InsyaAllah
hal-hal yang dikhawatirkan tidak akan pernah terjadi. Namun sebagai antisipasi
sebelum hal-hal yang dicemaskan itu bakal terjadi, maka sebaiknya perkirakan
dulu hal-hal terburuk yang akan terjadi, kemudian persiapkan diri untuk
menghadapinya dengan tenang. Jika demikian maka kita telah menerapkan sebuah
perilaku yang sesuai dengan kata pepatah lama ”Sedia payung sebelum hujan”.
Dengan begitu, kita dapat menghindari semua bayang-bayang kesulitan dan
ketakutan yang terkadang acap kali sudah berhasil mengobrak-abrik tatanan hati
dan perasaan sebelum benar-benar terjadi.
Selain itu sadarlah bahwa ada kesedihan yang baik,
seperti halnya seorang hamba yang bersedih dikarenakan merasa bahwa kedekatan
dan penghambaannya kepada Allah sangatlah sedikit, ini menandakan bahwa hatinya
masih tetap hidup dan terbuka lebar untuk menerima tamu agung yaitu
hidayah-Nya. Kesedihan yang demikian sangat baik karena kedepannya akan membawa
seseorang untuk segera bertobat dan tidak ingin kembali berkubang dalam
kesalahan yang pernah dibuatnya serta akan selalu berusaha untuk memperbaiki
dan mengerjakan apa yang menjadi perintah-Nya sebelum saat ajal datang
menjemput. Sehingga pada akhirnya nanti akan kembali lahir orang-orang yang
memiliki kekuatan iman dan Islam. Dengan kata lain, jika kita dapat membedakan
dan memenej sebuah kesedihan dengan benar maka ia akan menjadi tambahan
kebajikan dan sarana untuk mensucikan diri.
Namun meskipun demikian memang tidak dapat dipungkiri
bahwasannya kesediahan itu pada tahap tertentu tidak dapat dihindari dan
seseorang terpaksa harus bersedih karena suatu kenyataan. Berkenan dengan ini,
disebutkan bahwa para ahli surga ketika memasuki surga akan berkata: ”Segala
puji bagi Allah yan telah menghilangkan duka cita kami” (QS. Fathir [35]: 34).
Ini menandakan bahwa ketika di dunia mereka pernah bersedih sebagaimana mereka
tentu saja pernah ditimpa musibah yang terjadi di luar ikhtiar mereka. Hanya,
ketika kesedihan itu harus terjadi dan jiwa tidak lagi memiliki cara untuk
menghindarinya, maka kesedihan itu justru akan mendatangkan pahala. Itu terjadi
karena kesedihan yang demikian merupakan bagian dari musibah atau cobaan.
Maka dari itu, ketika seorang hamba ditimpa kesedihan
hendaknya ia senantiasa melawannya dengan do`a-do`a dan sarana lain yang
memungkinkan untuk mengusirnya. (di sadur dari DR. `Aidh al-Qarni, dalam
bukunya La Tahzan). Jadi bila sebuah kesedihan datang menghampiri maka sebagai
hamba yang beriman dan bersyukur sebaiknya itu dijadikan seperti ladang amal
ibadah yang baru pula, dengan melakukan hal-hal yang dapat mengembalikan
semangat seperti, memperbanyak shalat, ikhtiar, do`a, instropeksi diri.
Sehingga dengan sendirinya kesedihan yang sempat singgah itu lambat laun akan
turut memudar seiring berjalannya waktu.
Janganlah bersedih dengan beberapa kekurangan yang
dimiliki. Karena ingatlah wahai saudaraku, bahkan para nabi-nabi mulia
terdahulu meskipun manusia pilihan semuanya bahkan pernah menjadi pengembala
ternak. Dan meskipun mereka termasuk manusia pilihan dan sebaik-baik manusia
tetapi pekerjaan mereka tetap saja seperti manusia biasa. Nabi Daud adalah
seorang tukang besi, Nabi Zakaria seorang tukang kayu, Nabi Idris seorang
tukang jahit. Belum lagi para Nabi terdahulu juga selalu diberi cobaan dan
ujian yang bermacam-macam, ini sama dengan kita sebagai manusia biasa, bahkan
terkadang jauh lebih dahsyat.
Para sahabat, tabi`it, tabi`it tabi`it dan para alim
ulama juga mendapatkan perjalan kehidupan yang penuh cobaan dan ujian yang juga
begitu dahsyatnya bahkan hingga nyawa sebagai taruhannya seperti halnya saidina
Umar bin khatab yang dilumuri oleh darahnya sendiri, saidina Ustman yang di
bunuh secara diam-diam dan saidina Ali yang ditikam dari belakang, serta masih
banyak lagi kisah para alim ulama yang harus menerima hinaan, cacian, siksaan
dan cobaan yang silih berganti. Ini semua mengisyaratkan bahwa harga diri dan
kebahagiaan tidak diukur oleh status dan kepemilikan tetapi lebih kepada
kemampuan, keikhlasan, amal salih, akhlak dan manfaat yang kita hasilkan.
Maka dari itu, janganlah pernah bersedih dengan
kondisi fisik yang kurang ideal dan cantik, harta yang sedikit dan rumah yang
tidak megah, karena pada hakikatnya semua itu adalah titipan Allah semata
kepada kita yang kelak di yaumil akhir akan di pinta pertanggungjawabannya satu
persatu. Untuk itu kepada hambanya yang dapat menjalankan amanah secara benar
Allah berjanji dalam Al-Qur`an surat Ar-Ra`ad [13] ayat 29:
”Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi
mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik”
Atas dasar itulah mari saudaraku seiman, janganlah
bersedih karena kita masih memiliki agama yang kita yakini dan tuntunan yang
benar yaitu Al-Qur`an dan Al-Hadist. Marilah kita senantiasa gembira dan
berlapang dada. Tersenyumlah dan jangan lupa memohon serta mengadulah hanya
kepada Allah SWT semata agar selama hidup di dunia ini selalu diberikan
kebaikan, sifat terpuji dan diridhoi.
Kepada-Nya kita memohon diberikan kejernihan hati dan
kelapangan pikiran. Kepada Allah lah satu-satunya dzat yang patut kita mohon
pertolongan agar senantiasa melapangkan hati kita dengan cahaya iman,
menuntunkan hati kita kepada jalan-Nya yang lurus dan berfaedah. Menyelamatkan
hidup kita selama di dunia dari yang susah dan menjauhkan kita dari siksa api
neraka yang teramat perih.